BAB I
Pendahuluan
A. Judul
“Pembelajaran
matematika dengan menggunakan metode collaborative problem solving untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritik siswa SMP Negeri 2 Sigli”
B.
Latar Belakang
Bidang
pendidikan menjadi fondasi bagi perkembangan suatu bangsa.
Peningkatan kualitas pendidikan
merupakan hal yang paling strategis dalam
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) agar memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang berorientasi
pada penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Peningkatan kualitas
pendidikan ini dapat berlangsung dengan baik jika
pelaksanaan proses pembelajaran
berlangsung dengan lancar dan semua sarana
serta prasarana yang dibutuhkan
tersedia. .
Keberhasilan
berbagai upaya ini sangat bergantung pada SDM yang
menjalankannya. Termasuk juga
keberhasilan dalam proses pembelajaran di
sekolah dipengaruhi kompetensi guru yang
secara langsung berinteraksi dengan
siswa. Kompetensi utama yaitu berkaitan
dengan pengetahuan dan
keterampilannya dalam menyajikan materi
ajar. Kerangka konseptual
pembelajaran dan cara penyajian materi
ajar yang dipersiapkan oleh seorang guru
untuk pembelajaran di kelas, haruslah
berorientasi pada tujuan pembelajaran yang
sudah ditetapkan.
Tujuan dari
pembelajaran matematika sekolah di Indonesia adalah siswa harus memiliki
kemampuan dalam menyajikan suatu ideide matematika dalam berbagai bentuk, baik
berupa simbol, grafik, tabel ataupun dalam bentuk lainnya untuk memperjelas
masalah dan pada akhirnya digunakan untuk dapat memecahkan masalah. Dalam memecahkan
masalah, siswa dituntut untuk mampu membuat model matematika dari masalah yang
diberikan, menyelesaikan model tersebut dan menafsirkan penyelesaian yang
diperoleh.
Kemampuan dalam
menyajikan kembali berbagai ide untuk memperjelas masalah
dan
kemampuan merancang model penyelesaian serta menafsirkan penyelesaian
dari masalah itulah yang tercakup dalam
kemampuan representasi matematis.
Ini menunjukkan bahwa Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP)
yang diterapkan dalam sistem pendidikan
di Indonesia telah menyatakan secara
tersirat bahwa kemampuan representasi
matematis siswa sangat perlu untuk
dimiliki oleh siswa. Bahkan dalam KTSP
juga disebutkan bahwa yang menjadi
fokus pembelajaran yang sedang
diterapkan dalam pembelajaran matematika
adalah pendekatan pembelajaran berbasis
pemecahan masalah. Hal semakin menguatkan bahwa kemampuan representasi
matematis perlu ditingkatkan dan harus dikuasai oleh setiap siswa sehingga
proses pembelajaran matematika berbasis pemecahan masalah dapat berjalan dengan
lancar.
Pendekatan
pemecahan masalah mendorong siswa untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuan. Setiap siswa
memiliki cara yang berbeda-beda dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Hal ini
memungkinkan siswa untuk mencoba
berbagai macam representasi untuk dapat
memahami suatu konsep ataupun untuk
memecahkan permasalahan yang
dihadapinya. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) bahkan
memasukkan representasi sebagai salah satu dari lima kompetensi yang harus
dimiliki oleh siswa dan diprogramkan untuk siswa mulai dari pra taman
kanak-kanak sampai kelas 12.
Lima standar
kemampuan matematis siswa yang ditetapkan oleh NCTM meliputi kemampuan
pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning
and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections),
dan representasi (representation).
NCTM mengungkapkan pentingnya kemampuan
representasi untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide matematis, argumen, dan
pemahaman matematis.
Pentingnya kemampuan representasi
matematis dalam pembelajaran
matematika juga diungkapkan oleh
Kartini. Ia menyatakan bahwa representasi
berperan dalam membantu memahami konsep,
mengkomunikasikan dan memecahkan permasalahan.
Dari pendapat
tersebut, untuk dapat memecahkan masalah siswa harus memiliki kemampuan representasi
yang baik, sehingga dapat dikatakan
bahwa kemampuan depresentasi merupakan alat untuk mencapai kemampuan pemecahan
masalah yang baik.
Dalam penelitian ini akan diterapkan
model pembelajaran Collaborative
Problem Solving. Pada model
pembelajaran ini, siswa dihadapkan pada
permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan kelompok.
Menurut
Dillenbourg, Collaborative Problem Solving adalah suatu kerja sama yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
penyelesaikan suatu permasalahan tertentu.
Pembelajaran ini menjadikan proses kerja
sama antarsiswa dalam menyelesaikan permasalahan sebagai hal utama untuk dapat
mengkonstruk pengetahuannya sendiri, berbekal pengetahuan awal yang dimiliki
oleh masing-masing siswa.
Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang terdapat
dalam model Collaborative Problem Solving ini memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide matematikanya secara terbuka. Kemampuan
siswa dalam menyajikan ide-ide
matematika berdasarkan apa yang mereka konstruk sendiri ataupun hasil
diskusi dalam kelompok inilah yang disebut kemampuan representasi matematis.
Atas dasar
tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul
“pembelajaran matematika dengan menggunakan metode
collaborative problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritik
siswa smp negeri 2 sigli
”.
C. Identifikasi Masalah
Dari apa yang telah diuraikan dalam
latar belakang masalah, muncul
berbagai macam permasalahan yang dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Kemampuan representasi matematis
siswa masih rendah.
2. Siswa hanya meniru langkah-langkah
penyelesaian dari suatu masalah berdasarkan contoh soal yang diberikan.
3. Guru tidak mengikutsertakan siswa
dalam mengkonstruksi suatu pengetahuan, siswa cenderung pasif.
4. Pembelajaran yang diterapkan belum
cukup efektif untuk dapat mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa.
D.
Batasan Masalah
Untuk memperjelas variabel-variabel yang
terkait dalam penelitian ini,
maka peneliti membatasi permasalahan
yang ada yaitu:
1. Penelitian ini terbatas pada
peningkatan kemampuan representasi matematis siswa meliputi
indikator-indikator: representasi visual, ekspresi matematis, dan teks
tertulis.
2. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Sigli
tahun ajaran 2015-2016.
3. Materi ajar pada penelitian ini
adalah.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kemampuan representasi
matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem
Solving.
2. Mengetahui kemampuan representasi
matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.
3. Mengetahui apakah kemampuan
representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative
Problem Solving lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan model
pembelajaran konvensional.
F. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat, antara lain:
1. Bagi Guru Penelitian ini dapat
menambah alternatif model pembelajaran, khususnya
pada mata pelajaran matematika sehingga dapat
dimanfaatkan dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar serta meningkatkan
kemampuan representasi matematis siswa.
2. Bagi Sekolah Dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk membuat kebijakan sekolah
guna meningkatkan kualitas pendidikan
matematika di sekolah.
3. Bagi Peneliti Dapat dimanfaatkan
sebagai gambaran penerapan model pembelajaran
Collaborative Problem Solving yang dilakukan
penulis, sehingga dapat memperbaiki kekurangan dan keterbatasan yang ada agar
kemampuan matematis siswa dapat berkembang lebih optimal.
BAB II
Kajian Pustaka
A. Landasan
Teori
1. Model Pembelajaran Collaborative
Problem Solving
a. Collaborative Learning
Collaborative dapat diartikan
sebagai kolaborasi atau kerja sama. Marjan
dan Mozhgan mengartikan collaborative
learning sebagai suatu pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang
melibatkan sekelompok siswa untuk bekerja bersama dalam memecahkan masalah,
melengkapi tugas, dan menciptakan suatu produk.
Sementara Smith dan MacGregor dalam Marjan dan
Mozhgan mendefinisikan collaborative learning sebagai suatu istilah yang
memasukkan berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan hubungan intelektual
antarsiswa, atau antara siswa dengan guru secara bersama-sama.
Pada umumnya
siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan dua orang atau lebih, satu sama
lain saling mencari pemahaman, solusi, pengertian, atau menciptakan suatu
produk.
Kedua pendapat tersebut memfokuskan
pembelajaran kolaboratif pada
proses kerja sama antarsiswa dalam
kelompok ketika pembelajaran berlangsung.
Dalam proses kerja sama, setiap siswa
harus menyadari bahwa ia
merupakan bagian dari suatu kelompok
kecil yang harus saling bekerja sama
untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Dengan kesadaran tersebut, setiap siswa
akan memiliki rasa ketergantungan
positif satu sama lain untuk dapat mencapai
keberhasilan kelompok yang diinginkan
bersama.
Kunci utama untuk mencapai hasil tersebut
mereka akan berusaha bekerja sama dengan maksimal salah satunya dengan cara
mendiskusikan bersama informasi-informasi yang diberikan dengan
sungguh-sungguh.
Yang perlu ditekankan adalah
pembelajaran kerja sama bukan sekedar menuliskan hasil akhir, tetapi yang
menjadi komponen penting adalah bagaimana siswa dapat berproses bersama satu
sama lain secara sinergis dalam mengembangkan pengetahuannya.
Secara bahasa collaborative learning
memiliki arti yang hampir sama dengan istilah cooperative learning,
yaitu bekerja sama. Namun pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan. Menurut
Gunawan: “Proses belajar secara kolaborasi atau collaborative learning
bukan sekedar bekerja sama dalam suatu kelompok, tetapi penekanannya lebih
kepada suatu proses pembelajaran yang melibatkan proses komunikasi secara utuh
dan adil di dalam kelas”.
Dari pendapat tersebut berarti yang
menjadi fokus perhatian pembelajaran kolaboratif
adalah proses komunikasi antarsiswa
ketika bekerja sama, dan bagaimana mereka berproses bersama dalam mengembangkan
pengetahuannya. Jadi pembelajaran kolaboratif bukan bertujuan untuk menyamakan
persfektif siswa mengenai suatu konsep tertentu sebagai hasil akhir diskusi
kelompok, tetapi bertujuan untuk memperkaya pengetahuan siswa dari berbagai
persfektif yang muncul ketika diskusi berlangsung dan kemudian diharapkan siswa
dapat menginternalisasi secara individu untuk memperoleh pemahaman mengenai
konsep tertentu.
Ada lima unsur penting dalam proses
pembelajaran kolaboratif, yaitu:
1) Adanya rasa kebersamaan;
2) Adanya interaksi yang saling
mendukung antar anggota kelompok satu sama lain;
3) Adanya rasa tanggung jawab secara
individu dan kelompok untuk keberhasilan proses pembelajaran;
4) Kemampuan komunikasi yang baik
antarpribadi dalam suatu kelompok kecil;
5) Adanya proses refleksi terhadap
fungsi dan kemampuan mereka bekerja sama sebagai suatu kelompok.
2. Pengertian Model Pembelajaran Collaborative
Problem Solving
Collaborative
Problem Solving. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr
Greene dalam buku “The Explosive Child”. Menurutnya Collaborative
Problem Solving menerapkan dua prinsip utama, yang pertama yaitu tantangan
sosial, emosional dan perilaku anak-anak hendaknya dipahami sebagai produk
sampingan dari perkembangan kemampuan kognitif. Kedua, penyelesaian masalah
secara kolaboratif hendaknya dijadikan fokus perhatian dalam menghadapi suatu
tantangan. Greene mengembangkan pendekatan ini dalam hal perkembangan psikologi
anak.
Dalam dunia
pendidikan, Nelson mengemukakan bahwa Collaborative Problem Solving
merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran,yaitu pembelajaran kerja
sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini sebenarnya
memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif, namun tidak
komprehensif.
Lingkungan
belajar yang mendukung siswa untuk berkolaborasi secara natural dan efektif
sangat penting untuk didesain agar mereka dapat mengembangkan pengetahuan
melalui pengalamannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka
dibuatlah desain pembelajaran Collaborative Problem Solving yang
didukung oleh kegiatan pemecahan masalah siswa dimana siswa dapat melakukan
kesepakatan, didasarkan pada proses kolaboratif alami mereka masing-masing.
Menurut
Djamilah, langkah pembelajaran kolaboratif berbasis masalah
adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran diawali dengan pemberian
masalah yang menantang;
2. Siswa diberi kesempatan untuk
mengidentifikasi dan merancang penyelesaian permasalahan tersebut secara
individu sebelum mereka belajar dalam kelompok;
3. Siswa belajar dalam kelompok kecil
yang beranggotakan 4-6 orang untuk mengklarifikasi pemahaman mereka,
mengkritisi ide teman dalam kelompoknya, membuat konjektur, memilih strategi
penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan, dengan cara saling
beradu argumen.Setelah itu siswa menyelesaikan masalah yang diberikan guru
secara
individual;
4. Siswa mempresentasikan hasil
penyelesaian masalah yang diperoleh.
Dillenbourg menyatakan, Collaborative
Problem Solving adalah suatu kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan suatu
permasalahan tertentu.
Dalam disertasinya Wenyi Ho mengemukakan bahwa
ada 4 fase dari proses
Collaborative Problem Solving yaitu:
1) Memahami tugas kelompok;
2)Menyusun suatu perencanaan;
3) Melaksanakan riset individu;
4) Menentukansolusi akhir.
Barron
berpendapat, Collaborative Problem Solving merupakan suatu pembelajaran
dimana siswa dilibatkan dalam suatu project pemecahan
masalah,menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dan saling
bertukar pendapat satu sama lain ketika kerja sama berlangsung. Ia membagi
prosedur Collaborative Problem Solving kedalam empat fase.Fase pertama,
setiap siswa dihadapkan pada suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Fase
kedua, siswa mencari penyelesaian dari permasalahan tersebut di dalam
kelompoknya masingmasing.Setiap kelompok diberikan workbook yang berisi
berbagai pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk dapat menyelesaikan
permasalahan. Kemudian
pada fase ketiga, semua siswa diminta
untuk menyelesaikan permasalahan yang sama secara individu. Pada fase terakhir,
siswa mentransfer hasil kerjanya tersebut.
Dalam penelitian
yang Barron lakukan, ia mengkondisikan lingkungan belajar yang mendukung
siswanya untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama dan meminta siswa
untuk saling mendengarkan pendapat satu sama lain ketika mereka bekerja sama
dalam kelompok. Proses komunikasi antarsiswa sangat penting dalam proses
pemecahan masalah secara kolaboratif untuk dapat memperoleh penyelesaian
optimal dari berbagai pilihan penyelesaian yang muncul.
Dalam
menyelesaikan permasalahan secara berkelompok, sangat dimungkinkan adanya
perbedaan pendapat dari masing-masing siswa. Oleh karena itu, akan muncul
berbagai respon ketika pertukaran pendapat ini berlangsung. Barron menyebutkan
setidaknya ada lima respon yang mungkin terjadi.
1) No respon, setelah salah satu
anggota kelompok menyampaikan pendapatnya mengenai penyelesaian masalah,
anggota lainnya tidak memberikan tanggapan, baik menerima maupun menolak
pendapat tersebut.
2) Acceptances (penerimaan),
yaitu setelah salah satu anggota mengemukakan pendapat mengenai penyelesaian
masalah, anggota lainnya dalam kelompok menyetujui dan menerima pendapat
tersebut. Ini ditandai dengan adanya respon positif baik berupa kata-kata
ataupun
tindakan yang mendukung dari solusi
permasalahan yang diajukan.
3) Clarification (klarifikasi),
respon ini muncul ketika ada keraguan dari anggota kelompok lain terhadap
penyelesain permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota kelompoknya,
sehingga diperlukan penjelasan tambahan untuk lebih meyakinkan. Hal ini ditandai
dengan adanya beberapa permintaan untuk menjelaskan proses penyelesaian masalah
dari
anggota lainnya dalam kelompok.
4) Elaborations (elaborasi),
setelah penyelesaian permasalahan diajukan oleh salah satu anggota, anggota
lainnya menyetujui dan memberikan informasi tambahan untuk melengkapi
penyelesaian tersebut sehingga diperoleh solusi akhir kelompok yang optimal.
5) Rejections (penolakan), respon
ini muncul jika penyelesaian permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota
kelompok dianggap kurang tepat.
Ketika proses
pembelajaran Collaborative Problem Solving berlangsung, setiap siswa
diharapkan ikut terlibat secara aktif dalam setiap tahapannya. Terutama pada
saat siswa belajar dalam kelompok, diharapkan setiap siswa aktif bertukar
pendapat, saling share informasi, dan saling melengkapi satu sama lain sehingga
diperoleh penyelesaian permasalahan yang maksimal. Jadi dari kelima respon yang
telah disebutkan di atas, respon elaborasi diharapkan lebih sering muncul
ketika diskusi kelompok.
Seperti yang
diungkapkan Windle dan Warren yang berpendapat bahwa proses sharing
information, defining issues, sharing more information diperlukan agar
pembelajaran Collaborative Problem Solving dapat berjalan efektif.
Menurutnya, Collaborative
Problem Solving bukanlah suatu proses linier yang
berlangsung secara metodis melalui
langkah-langkah tertentu.Jika diperlukan kita bisa saja melakukan langkah maju
mundur, artinya setelah melewati beberapa langkah kita kembali lagi ke langkah
awal untuk memastikan bahwa penyelesaian yang diperoleh benar-benar
penyelesaian paling efektif dari permasalahan yang ada.
Lebih rinci
Windle dan Warren menyusun proses Collaborative Problem
Solving dalam enam
langkah:
1) Share Perspective
Proses ini
dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami dengan jelas berbagai perspektif
dari masing-masing anggota terhadap masalah yang dihadapi.
2) Define the Issue
Setelah semua
siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan,
pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai topik yang menjadi poin
penting dari persfektif yang muncul untuk didiskusikan bersama.
3) Identify the Interest
Dari berbagai
persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi untuk mengetahui
kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan mencari kesamaannya.
4) Generate Options
Setelah
melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi yang
mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi.
5) Develop a Fair Standar or
Objective Criteria For Deciding
Pada langkah
ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk memutuskan solusi akhir
permasalahan dengan menggunakan indikatorindikator tertentu yang disetujui.
6) Evaluate Options and Reach
Agrement
Langkah
terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi untuk
selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir permasalahan.
Secara menyeluruh, Nelson membagi
pedoman penerapan Collaborative
Problem Solving kedalam tiga
kategori, yaitu pedoman untuk guru, siswa serta
pedoman bersama untuk guru dan siswa.
3. Tahapan Model Pembelajaran Collaborative
Problem Solving
Pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi
kedalam kelompok-kelompok kecil dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan
secara individu dan berkelompok, untuk memperoleh solusi permasalahan dan
pemahaman yang mendalam melalui aktivitas diskusi dalam kelompoknya
masing-masing. Tahapan pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1:
Adanya permasalahan Guru menyajikan permasalahan dengan memberikan lembar kerja
individu kepada masing-masing siswa.
2:
Membuat rancangan penyelesaian secara individu.
- Masing-masing
siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan dan
berusaha
mencari solusi permasalahan tersebut.
- Siswa
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan
dengan
materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum
dimengerti
untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya dalam
kelompok.
3:
Penyelesaian kelompok
- Setelah
waktu penyelesaian tugas individu habis, guru menginformasikan pembagian
kelompok diskusi. masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa.
- Setiap
kelompok diberi bahan diskusi berupa lembar kerja kelompok (LKK) untuk diselesaikan
secara bersama-sama. LKK berisi permasalahan individu dan permasalahan tambahan
yang lebih kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang
sedang dipelajari.
- Di
dalam kelompok, setiap siswa saling bertukar informasi untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut secara bersama-sama dengan dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
siswa dari permasalahan individu.
- Antarsiswa
dalam tiap-tiap kelompok saling berkolaborasi untuk mencapai kesepakatan
mengenai solusi akhir kelompoknya dari permasalahan yang diberikan.
- Guru
memberikan informasi tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi ajar jika
diminta oleh siswa. Terjadi kolaborasi antara guru dan siswa selama
pembelajaran.
4:
Transfer hasil kerja
- Salah
satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan kelompok lain memberikan
tanggapan. Terjadi kolaborasi antarkelompok untuk mencapai solusi optimal dari
permasalahan.
- Guru
membimbing jalannya diskusi dan memberikan penjelasan tambahan kepada siswa
jika diperlukan. Guru dan siswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
4. Model
Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang
biasa diterapkan guru di kelas. Pembelajaran ini masih berpusat pada
guru.Pembelajaran konvensional yang diterapkan pada penelitian ini adalah pembelajaran
ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah suatu strategi pembelajaran yang
berpusat pada kegiatan guru dalam menyampaikan materi secara verbal dengan
tujuan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Ada juga yang menamakan
strategi ekspositori dengan istilah pembelajaran langsung (direct
instruction) atau strategi “chalk and talk”, karena strategi ini
menekankan pada proses bertutur secara langsung.
Jadi
pembelajaran ini masih bersifat “teacher centered”, dimana siswa
berperan sebagai objek pembelajaran yang hanya menerima materi dari penjelasan
gurunya.
B. Kerangka Teori
Collaborative
Problem Solving
adalah suatu pembelajaran dimana siswa
harus memecahkan permasalahan secara
individu dan kelompok. Pembelajaran ini
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan ide-ide matematikanya secara terbuka.
Ada empat
tahapan inti dalam pembelajaran ini. Tahap pertama, siswa
dihadapkan pada suatu masalah. Ketika
dihadapkan pada suatu permasalahan,
siswa cenderung terdorong untuk berpikir
mengenai berbagai kemungkinan
langkah yang harus dilakukan untuk
menemukan solusi dari masalah itu.
Permasalahan
menstimulus siswa untuk melakukan abstraksi ide-ide matematis
dalam pikiran siswa secara internal.
Siswa mungkin akan mengubah informasi
dalam berbagai bentuk yang diperoleh
dari permasalahan kedalam bentuk gambar,
grafik, tabel, simbol-simbol aljabar ataupun
kata-kata, selama proses abstraksi
ide-ide matematis ini berlangsung. Tahap
kedua, membuat rancangan penyelesaian masalah secara individu. Setelah melalui
proses abstraksi ide atau gagasan secara internal, kemudian pada tahap ini
siswa mengemukakan ide-ide tersebut kedalam bentuk gambar, grafik, tabel,
simbol-simbol aljabar ataupun kata-kata sebagai hasil dari pikirannya secara
individu.
Tahap ketiga, penyelesaian kelompok.
Berbekal pengetahuan dari permasalahan individu, dalam kelompok kecil siswa
melakukan sharing.
Setiap siswa mungkin memiliki sudut pandang
yang berbeda mengenai permasalahan
yang ada. Disini akan diperoleh berbagai
representasi untuk didiskusikan. Tahap keempat adalah proses transfer hasil
kerja. Pada tahap ini siswa dilatih untuk mengemukakan pendapat di depan kelas.
Siswa juga dilatih untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang paling sesuai
dengan permasalahan. Dari tahapan pembelajaran Collaborative Problem Solving
yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa pembelajaran ini memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengembangkan kemampuan representasinya, baik dalam
bentuk gambar, ekspresi matematis,
maupun teks tertulis. Sehingga diharapkan dengan menerapkan model Collaborative
Problem Solving dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan atau
berpengaruh terhadap kemampuan representasi sesuai dengan strandar representasi
menurut NCTM yaitu siswa dapat: membuat dan menggunakan representasi untuk
mengkomunikasikan ide-ide matematika; memilih, menerapkan dan menterjemahkan antar
representasi matematika untuk menyelesaikan masalah; menggunakan representasi
untuk memodelkan dan menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan matematika.
C. Hipotesis
Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka
berpikir yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
“Kemampuan berpikir kritik matematis siswa
yang diajar dengan pembelajaran model
Collaborative Problem Solving lebih tinggi
daripada kemampuan representasi
matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran
konvensional
BAB
III
Metode Penelitian
A. Desain
Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Mengungkapkan
terdapat beberapa bentuk desain eksperimen yang dapatd igunakan dalam
penelitian, yaitu: True Experimental Design, Berikut adalah penggambaran
skematik bentuk eksperimen, yaitu:
One-shot Case Study
|
One GroupPretest-
Posttest
|
Pre-Experimental
|
Intec-Group
Comparasion
|
O1 O2
O1
O2
Bagan 3.2. Desain Penelitian Eksperimen
Semu
Keterangan:
O1 = pre-test diberikan sebelum kegiatan belajar mengajar
untuk kelompok
eksperiman dan kelompok
kontrol
O2 = post-test diberikan setelah kegiatan belajar mengajar
untuk kelompok
eksperimen dan kontrol
X1 = pemberian metode belajar demonstrasi berbasis
cooperative learning untuk
kelompok eksperimen
X2 = pemberian metode belajar demonstrasi berbasis konvensional
untuk
kelompok control
Dalam preexperimental
design terdapat tiga alternatif desain sebagai berikut.
(1) one-shot case study
Jenis one-shot
case study dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan pengukuran dan nilai
ilmiah suatu desain penelitian. Adapun bagan dari one-shot case study
adalah sebagai berikut.
X O Perlakuan terhadap variabel
independen (Treatment of independent variable) Pengamatan atau
pengukuran terhadap variabel dependen (Observation or measurement of
dependent variable) Dengan X: kelompok yang akan diberi stimulus dalam
eksperimen,sedangkan O: kejadian pengukuran atau pengamatan. Bagan tersebut
dapat dibaca sebagai berikut: terdapat suatu kelompok yang diberi perlakuan,
dan selanjutnya diobservasi hasilnya.
Contoh:Pengaruh menggunakan metode collaborative problem solving (X) terhadap motivasi belajar siswa (O).
(2) the one group pretest-posttest
design
Perbedaan dengan
desain pertama adalah, untuk the one group pretest-posttest design, terdapat
pretest sebelum diberi perlakuan, hasil perlakuan dapat diketahui dengan
lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberi perlakuan.Bentuk
bagan desain tersebut adalah sebagai berikut.
O1 X O2
Pretest Treatment Posttest
Pengaruh perlakuan: O1 – O2.
Desain ini mempunyai beberapa kelemahan,
karena akan menghasilkan beberapa ukuran perbandingan. Kelemahan tersebut
antara lain disebabkan oleh faktor historis (tidak menghasilkan perbedaan O1
dan O2), maturitation (subjek penelitian dapat mengalami kelelahan, kebosanan,
atau kelaparan dan kadang enggan menjawab jika dinilai tidak sesuai dengan nilai
yang berlaku), serta pembuatan instrument penelitian. Kejelekannya yang paling
fatal adalah tidak akan menghasilkan apapun.
(3) the static-group comparison.
Penelitian jenis ini menggunakan satu
group yang dibagi menjadi dua, yang satu memperoleh stimulus eksperimen (yang
diberi perlakuan) dan yang lain tidak mendapatkan stimulus apapun sebagai alat
kontrol. Masalah yang akan muncul dalam desain ini adalah meyangkut resiko
penyeleksian terhadap subjek yang akan diteliti. Oleh karena itu, grup tersebut
harus dipilih secara acak.
Adapun bagan desain penelitian ini
adalah sebagai berikut.
X O1
O2
O1: hasil pengukuran satu grup yang
diberi perlakuan, dan O2: hasil pengukuran satu grup yang tidak diberi
perlakuan.
Pengaruh perlakuan: O1 – O2.
Ketiga bentuk desain preexperiment itu
jika diterapkan untuk penelitian akan banyak variabel luar masih berpengaruh
dan sulit dikontrol, sehingga validitas internal penelitian menjadi rendah.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
dilaksanakan di SMP Negri 2 Sigli
C.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan merupakan hasil tes dari kedua kelompok yang
menjadi sampel penelitian. Pemberian tes dilaksanakan pada akhir pokok bahasan materi
yang telah dipelajari. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pengumpulan
data.
1. Variabel
yang diteliti
Variabel
bebas : Model Pembelajaran Collaborative
Problem Solving Variabel terikat :
Kemampuan Representasi Matematis Siswa
2. Sumber
data
Sumber
data dalam penelitian ini adalah siswa yang menjadi sampel penelitian, guru
mata pelajaran matematika dan peneliti.
D.
Instrumen Penelitian
Arikunto (2010:203)
mengemukakan bahwa :
Instrumen
penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis,
sehingga
lebih mudah diolah.
Instrumen penelitian yang
digunakan sebagai alat pengumpul data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Tes
Tes adalah
serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki oleh individu atau
kelompok_ (Sugiyono, 2012:193). Tes digunakan
untuk mengukur kemampuan siswa dalam
memahami materi atau bahan ajar yang
telah disampaikan atu belum. Tes ini
dibagi menjadi kedalam dua bagian yaitu
a.
Pre-test
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penelitian
menggunakan teknik pre-test atau tes
awal untuk mengetahui seberapa besar kemampuan setiap siswa pada mata diklat
Ilmu Ukur Tanah Dasar khususnya pada bahan ajar pengukuran beda tinggi.
b.
Post-test
Post-test atau tes akhir digunakan untuk mengetahui perbedaan kemampuan siswa
masing-masing pada mata pelajaran tersebut setelah mendapatkan perlakuan menggunakam
metode pembelajaran demonstrasi berbasis cooperative learning dan kemampuan siswa
yang mendapat perlakuan dengan menggunakan metode demonstrasi berbasis
konvensional.
Langkah-langkah dalam membuat instrumen penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.Membuat rencana Pelaksanaan
pembelajaran.
b.Membuat kisi-kisi sebagaimana acuan
dalam pembuatan soal dan mencegah
terjadinya bias instrumen penelitian.
c.Menyusun soal-soal berdasarkan
kisi-kisi yang telah dibuat.
d.Tahap pembuatan kunci jawaban dari
penilaian butir soal. Setiap soal sudah
dibuat, diberi kunci jawaban berupa penyelesaian soal dan penskoran pada
setiap soal.
e.
Kisi-kisi dan soal
dibuat kemudian dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing dan para ahli. Dalam hal ini dosen pembimbing dan guru.
E.
Uji Validitas dan Reabilitas
1.
Uji Validitas
Uji Validitas Item dapat dilakukan
dengan menggunakan software SPSS 16.0.
Untuk proses ini, akan digunakan Uji
Korelasi Pearson Product Moment. Setiap item akan diuji relasinya dengan skor
total variabel yang dimaksud. Dalam hal ini masing-masing item yang ada di
dalam variabel X dan Y akan diuji relasinya dengan skor total variabel
tersebut.
Agar penelitian ini lebih teliti, sebuah
item sebaiknya memiliki korelasi (r) dengan skor total masing-masing variabel ≥
0,25. Item yang punya r hitung < 0,25 akan disingkirkan akibat mereka tidak
melakukan pengukuran secara sama dengan yang dimaksud oleh skor total skala dan
lebih jauh lagi, tidak memiliki kontribusi dengan pengukuran seseorang jika
bukan malah mengacaukan.
Dari hasil analisis di dapat nilai skor
item dengan skor total. Nilai ini kemudian kita bandingkan dengan nilai r
tabel. R tabel dicari pada signifiklan 5% dengan uji 2 sisi dan n=12, maka di
dapat r tabel sebesar 0.576. berdasarkan hasil analisis didapat nilai korelasi
untuk item 1, 9, dan 10 kurang dari 0.576. maka dapat disimpulkan bahwa
item-item tersebut tidak berkorelasi signifikan dengan skor total (dinyatakan
tidak valid) dan harus dikeluarkan atau diperbaiki
2.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas
merupakan ukuran suatu kestabilan dan konsistensi Terdapat kesamaan hasil
(data) dalam waktu yang berbeda.
Contoh 1: karet sebagai alat
ukur panjang dan alat timbang yang menggunakan pegas/per dsb
Contoh :
"
Hasil pengukuran suhu melalui ketiak
diperoleh : 39o C , 35o C dan37o C
"
Hasil pengukuran suhu melalui mulut
diproleh : 37,9 o C , 37o C dan 36,8o C
"
Terdapat variasi yang besar di ketiak àtidak reliabel
"
Terdapat variasi yang kecil di mulutàreliabel
Uji
reliabilitas dapat dilakukan secara bersama-sama terhadap seluruh butir
pertanyaan.
Jika nilai Cronbach_s Alpha > 0,60 maka
reliabel
Jika nilai Cronbach_s Alpha < 0,60 maka
tidak reliable
Pengukuran
reliabilitas pada dasarnya bisa dilakukan dengan cara :
1. Repeated Measure atau ukur ulang. Disini
seseorang akan disodori pertanyaan yang sama pada waktu berbeda, dan kemudian
dilihat apakah dia tetap konsisten dengan jawabannya. Reliabilitas diukur angka
koefisien korelasi antara percobaan
pertama dengan berikutnyaàKorelasi Product Moment(Tabel R)
2. One short atau sekali saja. Di sini
pengukuran hanya sekali dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka merupakan keterangan
tentang bacaan yang dijadikan sebagai bahan rujukan dari penulisan skripsi.
Dalam daftar pustaka dapat dimasukkan tentang pustaka dari buku teks, jurnal,
artikel, internet atau kumpulan karangan lain.
LAMPIRAN
Lampiran memuat : keterangan atau
informasi yang diperlukan pada pelaksanaan penelitian seperti : peta, surat
penelitian, kuesioner, atau data lain yang sifatnya melengkapi usulan
atau proposal skripsi.
0 Response to "Contoh Proposal Skripsi"
Post a Comment